Translate

Rabu, 30 Januari 2019

Menjelang Pilpres 2019 Menghadiahkan Budaya Baru Bagi Indonesia

Sumber gambar : riausky.com
Oleh. Andi Pasarai (Mahasiswa)

Indonesia kian terhangatkan suasana politik menjelang pilpres 2019. Hangatnya suasana politik tentu beriringan dengan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan yakni aspek positif dan negatif. Aspek positif suasana politik menjelang puncak pesta demokrasi 2019 adalah hal yang diimpikan oleh seluruh masyarakat Indonesia. 

Walaupun, hanya sebagian kecil yang berusaha mengonstruksi dari sisi positifnya. Malah, lebih banyak terpengaruh bahkan sebagai aktor penggerak berkontribusi mewujudkan politik yang tidak sehat. 

Berbicara mengenai politik, memang sangat riskan karena kurangnya sosialisasi politik cerdas. Politik dimata masyarakat awam merupakan suatu hal yang sangat buruk, walaupun para akademisi berusaha meyakinkan bahwa politik merupakan alat suprastruktur negara demi terwujudnya demokrasi.

Sejatinya menyinggung tentang politik di tengah suasana menjelang pilpres 2019. Maka tidak terlepas dengan dua nama kandidat calon presiden 2019 nanti, yang keduanya sudah sangat familiar di tengah masyarakat.

Apabila, kedua kandidat ini yakni Jokowi dan Prabowo ingin dipandang dari paradigma state leader sesungguhnya hal ini sangatlah kontras di mata pendukungnya masing-masing.

Kekontrasan ini sangat jelas terlihat ketika media sosial sebagai konduktor eksistensi sekaligus penghangus eksistensi dijadikan sebagai sentral bertemunya pendukung kedua belah pihak.

Setelah membahas suasana politik dan kedua calon presiden Indonesia, lantas apa kaitannya dengan masyarakat?. Ketika kedua calon saling menonjolkan eksistensinya demi menarik hati masyarakat. Maka masyarakat pun menghalalkan segala caranya untuk mendukung calonnya. Mendengar kata “menghalalkan segala cara”, memang terkesan keras dan buruk.

Tapi tidak bisa disangkal, begitulah realitasnya ditengah-tengah masyarakat. Bangsa Indonesia merupakan bangsa prismatik yang menjalankan roda pemerintahan dengan ciri khasnya sendiri (konstitusi).

Walaupun Indonesia menganut sistem demokrasi tapi sangatlah bertentangan dengan nilai luhur dan jati diri bangsa Indonesia yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya. 

Sebenarnya kandungan daripada kata “menghalalkan segala cara” tidak seburuk pemahaman kaum sosialis-komunis. Tapi, hal ini tetap menjadi ancaman nyata bagi bangsa Indonesia.

Dalam mengungkap rasa kekecewaan terhadap realitas yang ada, kita dapat menyaksikan para netizen betapa buruknya mengomentari postingan lawan politiknya. Cemoohan dan olok-olokan adalah senjata yang saling menyerang memenuhi kolom-kolom komentar sosial media. 

Rasanya komentar-komentar yang terlontar di media sosial sama sekali tidak memberi jarak yang jelas atau pembeda dari kalangan berdasarkan latar belakang pendidikannya.

Hingga kita tidak lagi mampu mendeteksi dari kacamata sosial, siapakah yang melontarkan argumen?. Sesungguhnya komentar yang terlontar kita tidak dapat menarik parameter, apakah mereka dari kalangan terdidik atau dari kalangan yang pendidikannya rendah.

Cemoohan atau komentar-komentar negatif sudah menjadi hal yang lumrah dalam bermedia sosial ditengah semaraknya politik menyambut puncak pesta demokrasi 2019. Seakan cemoohan bertransformasi jadi budaya baru disaat menjelang pilpres 2019.

Akankah cemoohan dalam bermedia sosial terus berlanjut?. Jangan tanyakan lagi hal ini, firasat ilmiah telah berkata jujur. Ketika hal negatif dipandang sebagai hal yang lumrah, maka akan terus berlanjut bahkan menggerogoti jati diri bangsa Indonesia.

Ketika cemoohan dalam bermedia sosial sudah dipandang sebagai hal lumrah demi menjatuhkan lawan politiknya. Maka jelas hal ini sarat makna dengan frasa “menghalalkan segala cara”. Awalnya terikat oleh situasi politik menjelang pilpres 2019 sehingga cemoohan di media sosial dipandang sebagai wujud kewajaran.

Tapi, kedepannya tidak ada jaminan ini akan berhenti seiring berhentinya suasana politik menjelang pilpres 2019. Yakin atau tidak yakin kedepannya terus berlanjut bahkan menjadi warisan untuk generasi selanjutnya.

Cemoohan yang terlahir dari memanasnya suasana politik akan semakin cepat berkembang sebab media sosial sebagai kontrol porosnya. Manakala ditambah lagi dengan kesuburan pluralitas yang ada di Indonesia sehingga hal ini sudah sangat cukup melahirkan benih-benih konflik.
Padahal, ketika kita menarik pemahaman dasarnya. Politik menuju pemilu 2019, merupakan wujud demokrasi bangsa Indonesia sebagaimana dijamin dalam konstitusi Pasal 1 angka 2 UUD NRI 1945. Sejatinya melanggengkan demokrasi dengan adanya jaminan kedaulatan rakyat Indonesia. 

Kedaulatan rakyat sebagai wujudnya ialah dengan adanya jaminan kebebasan berpendapat di ruang publik sebagaimana dijamin dalam pasal 28 UUD NRI 1945. Terkait pemahaman dasar ini, memang memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan pendapatnya. 

Tapi, semestinya pendapat yang dilontarkan terutama dalam bermedia sosial perlu memperhatikan nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia.
Norma yang hidup dalam masyarakat sama sekali tidak membenarkan cemoohan dianggap sebagai hal yang lumrah. Disamping itu negara Indonesia selain menganut demokrasi juga sebagai negara hukum. Hal ini mengandung makna bahwa kebebasan sebesar-besarnya tetap berada dalam koridor hukum. 

Artinya, demokrasi tetap berlandaskan nomokrasi. Yang ingin disampaikan disini adalah jangan mengekspresikan kebebasan berpendapat dalam tendensi negatif atau akan menjadi kado buruk bagi Indonesia.

Salah-satu jalan mengubah paradigma masyarakat Indonesia ialah harus menghilangkan cara-cara negatif untuk mencapai tujuannya. Menyatu paham kan kedua pendukung calon presiden tahun 2019 tidaklah rumit. 
Sebab, laksana menyatukan antarafraternite (Barat) dan ukhuwah (Timur) yang hanya beda etimologi. Jika tidak seperti ini maka tingkah laku saling sentimen di media sosial akan menjadi hadiah sisa dari poros politik menjelang pilpres 2019. Tidak menutup kemungkinan menular di dunia nyata. 

Ketika ini menjadi budaya baru maka besar potensi timbulnya disintegrasi bangsa. Pandanglah para “kecebong” dan “kampret” sebagai fraternite danukhuwah yang hanya beda secara etimologi.
Sehabis masa pilpres hanya menyisakan jejak budaya baru bertendensi negatif. Akankah ada kemajuan terhadap moralitas bangsa kita?. Tentunya tidak, kemunduran moralitas yang tercermin dari pelaku media sosial akan mendegradasi nilai etika masyarakat Indonesia. 

Kesan buruk dari media sosial yang terlahir dari kedua kubu konsumen politik 2019 terus merajalela menggantikan nilai-nilai kesopanan. Sebagai bangsa yang plural tentu hal ini tidak ingin dibiarkan berlangsung. Sebisa mungkin untuk menutup setiap celah yang bertendensi terciptanya disintegrasi bangsa.

2 komentar:

  1. What Is the Difference Between Baccarat and Other Poker - Worrione
    Poker - Baccarat is a casino game. The game uses a standard 바카라 사이트 유니벳 52-card deck of 52 cards, a player's face up poker face up. The object of this

    BalasHapus

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html